Kamis, 06 November 2014

UJIAN DALAM UJIAN




Berbulan-bulan sebelum Ujian Nasional, saya benar-benar kerja keras berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua orang tua. Sampai melupakan hal-hal yang selama ini selalu saya anggap penting. Pagi-pagi pukul 6 mengikuti Les privat dengan guru Matematika di sekolah. Kemudian dilanjutkan belajar seperti biasa di sekolah dan program Les tambahan dari sekolah di siang hingga sore hari, sampai saya juga mengikuti bimbel khusus Ujian Nasional di salah satu lembaga bimbingan belajar hingga malam hari. 

Dari pagi buta hingga pukul 9 malam, hampir setiap hari saya lalui. Belum lagi jarak tempat bimbel dengan rumah yang cukup jauh. Terkadang kalau malam hari hujan, merinding rasanya melewati tempat-tempat yang sepi dan terkenal angker. Tapi semua itu saya jalani dengan sabar dan ikhlas bersama dengan saudara kembar saya. Kita berdua punya keyakinan bahwa setiap proses yang kita jalani pasti akan sebanding dengan hasil yang akan kita dapat. Begitu besar semangat yang Allah berikan kepada kami, sampai pada suatu hari saya masih ingat kala itu tepat satu minggu sebelum ujian nasional diselenggarakan, tepatnya kejadian sore hari selepas maghrib. 
Waktu itu, saya baru pulang TST dari tempat bimbel, saya melihat sepeda saudara sepupu yang paginya ia titipkan di rumah saya masih terparkir di samping rumah. Saya pun berniat untuk mengembalikannya, takut besok paginya akan ia pakai untuk sekolah. Tanpa saya tahu ternyata sepeda itu tidak punya rem alias rem nya blong. Dan terjadilah, di jalan menurun dekat masjid, dari atas sudah saya rasakan betapa hebatnya saya terjun bebas, ingin rasanya saya menghentikan laju sepeda tapi percumah semua upaya yang saya bisa tetap tak berjalan, niatnya akan saya teruskan saja sampai jalan mendatar toh nanti pasti akan berhenti sendiri tapi ternyata di bawah ada beberapa orang yang hendak pergi ke masjid,  saya pun membanting stir ke kiri takut menabrak mereka dan hasilnya sepeda saya membentur gardu masjid begitupun dengan saya. Orang-orang yang hampir saja saya tabrak, mengerumuni saya. Kesan pertama yang saya rasakan setelah membuka mata adalah baik-baik saja. Bahkan, saya justru berniat menuju sepeda dan meneruskan perjalanan, bak pahlawan yang tetap bangkit sekalipun ribuan peluru bersemayam di tubuhnya. Sesekali masih terdengar, ada yang mengatakan bahwa ini parah dan harus langsung di bawa ke rumah sakit, dan ada juga yang masih speechless karena sempat melompat menghindari saya tadi. Tapi, Alhamdulillah, syukur saya sekali lagi, pertolongan pun datang, ibu yang berjanji mengikuti saya dari belakang, tampak begitu gelisah melihat kondisi anaknya yang tidak karuan, bisa kulihat muka beliau pucat dipenuhi rasa khawatir. Saya pun di bonceng ibu dengan seseorang dari kerumunan yang nyaris menjadi korban menjaga di belakang. Saya dibawa ke salah satu bidan terdekat, maklum jarak ke rumah sakit terlalu jauh. 
Turun dari motor, kesan yang saya rasakan, masih tetap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah saya tadi sehabis terjun bebas, dan mendarat dengan sukses di atas matras olah raga. Tetapi begitu sampai di muka pintu rumah bidan desa itu, tiba-tiba "tes", kulihat darah menetes ke sendal yang saya kenakan. Saat itu juga baru saya sadar, ternyata saya benar-benar seperti yang mereka khawatirkan. Begitu buruk, dan benar saja, bu bidan pun sempat berucap istighfar melihat kondisi saya. Berselang kemudian saya berbaring di tempat tidur, melihat langit-langit kamar bidan, saya mulai merasa khawatir begitupun dengan ibu yang berdiri di samping saya. Tidak terasa air mata mengalir begitu deras, ingin rasanya memeluk ibu, sambil berkata "bu, tolong sudahi semua ini, saya tidak sanggup karena harus melihatmu begitu khawatir, memegang kerudung yang tadi saya pakai berlumuran darah, dari warnanya yang orange berubah menjadi merah darah, maafkan saya ibu, yang begitu sering mengabaikan perkataanmu, untaian kata bijak yang harusnya bisa saya patuhi justru sering saya anggap omelan menggerutu" hanya maaf yang bisa saya batin. Tapi kemudian rasa sakit menjalar begitu deras ketika jarum dan benang mulai menyusur di kepala, Ibu, tetap menguatkan, sembari mulut terus berdoa seperti mengisyaratkan juga padaku untuk tetap mengingat sang maha pencipta. Ada dua luka jahitan yang saya dapatkan dari kejadian ini, tepat di kepala dan lutut kanan. 
Malam semakin larut, tiba-tiba rumah terlihat begitu ramai, banyak saudara yang datang, bahkan orang-orang yang sedang berjaga di TPS untuk mempersiapkan Pemilu anggota dewan, ada yang datang melihat kondisi saya, setelah jelas berita tersebar luas begitu cepat. Malam panjang saya lalui dengan perasaan masih tidak percaya dengan apa yang saya alami, saya hanya bisa terdiam menatap langit-langit kamar. Bahkan lebih sering memilih diam atau menggeleng ketika ada yang bertanya pada saya. Entah apa yang sedang saya rasakan, saya hanya mau ibu tetap berada di samping saya. Sesekali merengek seperti anak kecil ketika di tinggal ibu yang hanya pergi ke kamar kecil. Saya benar-benar merasa kembali menjadi anak-anak, meminta ibu menemani dan hanya memintanya memeluk saya. Jujur, ibu adalah obat gratis paling mujarab yang saya dapatkan langsung dari sang pencipta. Hanya dengan keberadaan ibu, semua sakit yang saya rasakan seolah pergi, hanya dengan keberadaan ibu, itu sudah lebih dari cukup. Keesokan harinya saya terbangun dengan nyeri badan akibat benturan. Dan tidak saya sangka, muka saya membengkak dua kali lipat. Pipi terasa tertarik, membuat saya seperti legam habis dipukul preman. Papah memutuskan membawa saya ke rumah sakit imanuel untuk memastikan apakah saya benar-benar baik-baik saja. memastikan apakah tidak ada syaraf terganggu, apakah otaknya masih berfungsi, apakah ada patah tulang lain, Setahu saya Papah adalah sosok paling bijak yang pernah saya tahu, bukan mario teguh atau penasihat-penasihat kondang lain. Ya, papah yang terus berorientasi ke depan. 
Baru touchdown pintu utama rumah sakit, saya sudah menjadi perhatian banyak orang, mungkin karena muka saya aneh atau mengerikan akibat efek bengkak ini? Setelah berkonsultasi dengan dokter, akhirnya kami sepakat untuk melakukan CT-Scan dan Rotgen memastikan apa semuanya baik-baik saja. menuju ruang CT-Scan, jujur saya begitu takut, hanya bisa berdoa kepada Allah, berharap semuanya baik-baik saja. Berada di ruangan dingin ber AC sendirian, berada di dalam sebuah alat sebesar tempat penampungan air sendirian saya benar-benar merasa takut. Tapi saya yakin saya tidak sendirian, jika tidak ada manusia di sekeliling, ingatlah bahwa Allah akan terus menemani dan menjaga kita. Setelah hasil CT-Scan dan Rotgen keluar, dokter sempat menganalisis, dan menyatakan bahwa otak saya masih bagus dan berfungsi dengan baik, hanya saja bagian pipi sebelah kanan saya patah, dan retak di bagian tangan kiri. Seketika juga mendengar kata patah saja, benar-benar mematahkan keyakinan, takut-takut saya malah disuruh operasi. Tapi untunglah, dokter tidak menyarankan begitu karena saya masih muda, jadi tulang yang patah itu pasti akan dengan mudah menyatu kembali. Tetapi kalau setelah beberapa bulan masih bengkaknya sama, dokter menyarankan operasi rekonstruksi wajah. Langsung saja saja terkaget di tempat. Kemudian saya berucap "apa itu harus ya dok?" kemudian dokter menggeleng dan menyerahkan semua keputusan kepada saya. Setelah mengetahui kondisi sebenarnya saya benar-benar sedih dan terpuruk bahkan air mata sering juga menetes tidak jelas. Khawatir saya tidak bisa sembuh, sampai-sampai, ketika sedang mengantri untuk pengambilan obat di loket, ada seorang bapak-bapak mungkin berumur 40 tahunan menggunakan kursi roda dengan kaki terbungkus bekas operasi patah tulang datang menghampiri saya, tanpa banyak bertanya, kemudian memberi saya uang. Tidak tau apa maksudnya papah kemudian memprotes. Tetapi, orang tersebut justru tersenyum seolah berkata "Saya dan anak bapak, ada di kondisi yang sama, hanya duduk terpatung di atas kursi roda menghiraukan rasa sakit yang sedang dirasakan, memikirkan apakah kita bisa pulih" kemudian papah membalas senyum sambil berterima kasih. Memang tidak banyak uang yang beliau berikan, tetapi jujur saja ini menjadi penyemangat buat saya untuk segera bangkit dan sembuh. Saya dan kembaran saya pun saling tertawa. Dan dia kemudian meledek, "mungkin karena mukamu yang kelihatan mengerikan jadi bapak itu kasihan" celotehnya. Saya sempat ingin membalasnya tapi apalah daya tangan justru berasa lemas. Kemudian saya tersenyum dan berdoa semoga bapak tadi segera di beri kesembuhan. Setelah lama mengantri, kami pulang dan papah sekali lagi menggendong saya menuju kamar.  
Setelah semua kejadian ini, konsentrasi UN pun semakin tidak jelas. Selama seminggu menjelang saya justru tidak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi setiap harinya ibu dan papah saya selalu menyemangati begitupun dengan teman-teman yang datang setiap harinya. Mereka semua adalah semangat bagi saya. Meskipun seseorang yang saya harapkan tidak hadir tapi saya menyadari mungkin saya tidak lagi dia anggap penting, dan pastinya dia juga sedang sibuk mempersiapkan UN. Saya hanya bisa berdoa semoga dia bisa mengerjakan ujiannya. Selama berbaring saya hampir tidak pernah berdoa untuk diri saya sendiri karena saya benar-benar merasa putus harapan. Tapi orang tua selalu ada si sisi saya dan yang pasti Allah SWT  tidak pernah sejengkalpun meninggalkan saya, There’s no situation that i’m experiencing alone, Allah is always with me wherever, whenever i go. Saya pun mencoba bangkit, saya mulai membaca buku lagi, tapi saya justru merasa pusing, mungkin efek dari kepala yang sempat mengeluarkan darah begitu banyak. Sampai akhirnya saya pesimis mungkin ikut ujian susulan saja, tapi Allah terus memberi saya semangat untuk bisa bangun dari tempat tidur. Dan, saya pun akhirnya bisa mengikuti UN selama satu minggu. Masih dengan bekas luka dan muka saya yang membengkak karena tulang pipi yang patah. Tapi saya yakin saya mampu melewati semua ini. Bukankah selama berbulan-bulan lalu saya sudah mempersiapkan semuanya? Jangan hanya karena secuil cobaan ini saya justru menghancurkan kerja keras yang selama ini saya lalui. Saya optimis saya pasti bisa! 
Hari pertama bahasa indonesia mampu saya lalui dengan baik, dan hari kedua matematika dimana membutuhkan kerja ekstra saya pun sempat merasa pusing ditengah-tengah mengerjakan soal. Putus asa, keringat bercucuran, pucat, tapi teman sekali lagi menguatkan dan memberi semangat. Di hari ketiga paginya saya sangat terkejut mendapat kabar ternyata teman saya, teman sebangku saya mendapat kecelakaan, dia pun datang hampir dengan kondisi kaki diseret-seret seperti saya, beruntungnya dia hanya mengalami luka lecet. Ditambah lagi seseorang dari kelas lain, dia jatuh sakit hingga harus dirawat di puskesmas dan mengikuti ujian di sana. 
Menyadari semua ini, saya sadar bahwa Allah benar-benar sedang menguji kita semua. Pernah ada seseorang yang mengatakan kepada saya. “Terkadang ujian sebenarnya bagi orang yang akan menghadapi ujian-ujian tertulis justru bukan saat ujian itu di laksanakan tapi pada waktu sebelum kita mengerjakan soal-soalnya. Pasti ada saja ujian tambahannya, yaitu ujian hidup yang sebenarnya”. Saya semakin terpacu. Dan, sampai saat pengumuman kelulusan tiba, meskipun tidak mendapat peringkat tiga besar, saya bersyukur mendapat nilai yang baik. Bisa  memperoleh rata-rata 8 dengan perasaan campur aduk pada saat mengerjakan ujiannya saya sangat bersyukur kepada Allah, atas nikmat yang telah Dia berikan. Bukan nilai bagus yang saya kejar setelah kejadian yang saya alami. Tapi kesuksesan bisa bangkit dari perasaan putus asa, bangkit dari keterpurukan, itu saja sudah cukup bagi saya. Setidaknya saya tidak menambah kekecewaan yang kedua orangtua saya rasakan. Karena saya bisa bangkit dan mempunyai semangat untuk memperjuangkannya sekali lagi. Dan terbuktilah, kerja keras yang selama ini saya lakukan terbayar dengan hasil yang saya dapatkan. Maaf, pah, bu belum bisa memberi yang terbaik, tapi setidaknya ini hal terbaik yang bisa saya berikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar