Sabtu, 08 November 2014

MAKALAH AMTSAL AL QUR'AN



MAKALAH STUDI ISLAM I
AMTSAL AL-QUR’AN



Pendidikan Matematika Kelas C
Disusun oleh:
1.      Sintiya Wahyu Lestari                      (1400006163)
2.      Meli Fitriani                                       (1400006166)
3.      Nova Risky Amalia                          (1400006169)
4.      Risa Arum Kuswandari                   (1400006170)
5.      Nopvi Anggraini Mustika                 (1400006171)
6.      Suprapti Rejeki                                 (1400006172)
7.      Ovi’ulia Dwika Metronika H           (1400006174)


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA



AMTSAL AL-QUR’AN (PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN)

A.      Pengertian Amtsal Al-Qur’an
Al-Qur’anul karim sebagai kitab pedoman berisi berbagai pembahasan bermanfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam segala kondisi. Misalnya, dalam metode pembelajaran dan cara menanamkan sebuah nilai dalam hati seseorang. Metode yang dipakai adalah metode yang simpel dan paling jelas. Diantara metodenya yaitu dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Metode ini dipakai untuk menyampaikan masalah-masalah yang sangat urgen dan krusial, seperti masalah tauhid dan kondisi orang-orang yang mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , masalah syirik dan kondisi kaum musyrik, dan berbagai amalan besar lainnya. Tujuannya tentu untuk memahamkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang abstrak dengan cara menggambarkannya dengan sesuatu yang kongkrit sehingga seakan-akan terlihat mata. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi seorang hamba untuk memperhatikannya dan berusaha untuk memahami maksud perumpamaan-perumpamaan itu.
Menurut supiana dan karman (2002: 253), kata Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Adalah kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah, syibh, dan syabih, baik lafazh maupun maknanya. Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Contohnya, “rubba ramiyah min ghairi ramin”, maksudnya berapa banyak musibah diakibatkan oleh kesalahan pemanah. Orang yang pertama mengatakan seperti ini adalah Hakam bin Yaghust Al-Naqri, membuat perumpamaan orang yang salah dengan musibah walaupun kadang-kadang benar.
Amtsal juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang menakjubkan. Dengan makna inilah lafazh Amtsal ditafsirkan dalam banyak ayat. Seperti

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ
وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ

“perumpamaan surga yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah: ada padanya beberapa sungai dari air yang tidak berubah (rasa dan baunya), dan beberapa sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, serta beberapa sungai dari arak yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan juga beberapa sungai dari madu yang suci bersih. Dan ada pula untuk mereka di sana segala jenis buah-buahan, serta keredaan dari Tuhan mereka...” (QS. Muhammad: 15).
Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor. Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992 : 400), dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan. Al-Qur’an secara terminologi menurut Drs. Anwar Rosihin, M.Ag beliau berkata bahwasannya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan Al-Qur’an (2008: 28).
Menurut Syahidin (2009 : 78), di dalam Al-Qur’an ditemukan 165 tempat yang memakai kata amtsal (permisalan / perumpamaan) sebagai adat tasybih (alat untuk mengumpamakan) dan masih banyak adat tasybih lain yang menunjukan perumpamaan.
Ash-shidieqy (1972: 174) didalam Al-Qur’an sendiri, kata amtsal dipergunakan dalam beberapa pengertian, sebagai berikut:
1.    Matsal diartikan dengan “perkataan atau informasi mengenai dirinya sendiri”
2.    Matsal berarti “contoh atau tauladan”
3.    Matsal berarti “penerangan”
4.    Matsal berarti “tanda atau bukti”
5.    Matsal berarti “keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian serta menakjubkan”
6.    Matsal berarti “perbandingan”
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sharih, seperti:
“sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit.” (QS. Yunus: 24).
Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dhimmi (penyerupaan secara tidak langsung), mislanya:
“...Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujurat: 12).
Dikatakan dhimmi karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sharih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
“Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73).
Firman-Nya, “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan Amtsal padahal didalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.
Pengertian Amtsal Al-Qur’an secara keseluruhan yaitu menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas).
B.       Tujuan Amtsal Al-Qur’an
Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari  amtsal Al-Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat  amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari. Hal ini sebagaimana  yang difirmankan Allah dalam surat Az-Zumar ayat 27. Mengenai kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
Artinya: “(Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya).”
Dari dalil al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal al-Qur’an adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia terbimbing menuju jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat. Menurut izzan (2007: 240) ada beberapa ciri-ciri Amtsal khusus dan terperinci yaitu.
1.    Mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret dan berkesan.
2.    Amtsal memiliki kesejajaran antara situasi perumpamaan yang dimaksud dan padanya.
3.    Adanya keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan dan keadaan yang dianalogikan.

C.      Ciri-Ciri Amtsal Al-Quran
Adapun ciri-ciri amtsal Al-Quran, yaitu:
1.      Mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret, dan berkesan.
2.      Amtsal memiliki kesejajaran antara situasi-situasi perumpamaan yang dimaksud dan padannya.
3.      Ada keseimbangan (Tawazun) antara perumpanaan dan keadaan yang dianologikan

D.      Unsur-unsur Amtsal
Al-Qur’an Sebagian Ulama mengatakan bahwa Amtsal memiliki empat unsur, yaitu:
1. Wajhu Syabah: segi perumpamaan
2. Adaatu Tasybih: alat yang dipergunakan untuk tasybih
3. Musyabbah: yang diperumpamakan
4. Musyabbah bih: sesuatu yang dijadikan perumpamaan.

E.       Macam-macam Amtsal Al-Qur’an
Secara garis besar, amtsal al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama perumpamaan yang disebutkan secara jelas dan tegas. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqaan menyebutnya sebagai matsal zhahir musharrah bih. Sedangkan yang kedua disebutkan secara tersirat (matsal kaamin). Namun apabila diamati secara seksama maka amtsal al-Qur’an bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Al-amtsal al-musharrahah, yaitu perumpamaan yang jelas yang di dalamnya lafazh matsal atau yang menunjuk kepada tasybih.  Amtsal jenis ini banyak terdapat dalam al-Qur’an.  Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini dijelaskan keuntungan besar bagi orang-orang yang mau berinfak dengan menyamakannya terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang kelak menghasilkan 700 butir biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan hasil tanaman pada ayat ini jelas menggunakan lafazh matsal (مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ). Dalam ayat ini yang disamakan adalah keuntungan.
2.    Al-amtsal al-kaaminah, yaitu perumpamaan yang tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau sejenisnya, akan tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan singkat. Makna amtsal seperti ini akan mengena jika lafazh tersebut dinukilkan kepada hal yang menyerupainya.
Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal al-kaaminah al-Qur’an itu sendiri tidak menjelaskan bentuk perumpamaan terhadap suatu makna tertentu. Hanya saja maknanya menunjukkan pada makna suatu perumpamaan. Tegasnya amtsal jenis ini merupakan perumpamaan maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi yang jelas.
Salah satu contoh al-amtsal al-kaaminah adalah sebagaimana ungkapan yang disebutkan orang Arab yang berupa خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengah). Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:
Surat al-Baqarah ayat 68:
إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ…الأية
Artinya: “…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu…”
Surat al-Furqan ayat 67:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Surat al-Israa’ ayat 29:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Surat al-Israa’ ayat 110:
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Artinya: “…Katakanlah: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Begitu juga masih banyak ungkapan orang-orang arab yang merupakan hasil perumpamaan al-Qur’an.
3.    Al-amtsal al-mursalah, yaitu beberapa jumlah kalimat yang bebas yang tidak jelas tanpa menggunakan lafazh tasybih. Al-amtsal al-mursalah ini adalah beberapa ayat al-Qur’an yang berlaku sebagai perumpamaan. Contohnya seperti dalam surat Yusuf ayat 51:
قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ الْآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ…الأية
Artinya: “…Berkata isteri Al-Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran itu…”
Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 216:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ…الأية
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu…” 
F.       Manfaat Amtsal al-Quran
Di antara manfaat amtsal al-Quran ialah:
1.    Menyampaikan sesuatu yang abstrak menjadi bentuk nyata sehingga pesan perumpamaan mudah diterima oleh akal.
2.    Mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak.
3.    Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat.
4.    Memotivasi orang untuk beribadah dan berbuat baik seperti apa yang digambarkan dalam perumpamaan yang menarik dalam al-Qur’an.
5.    Menghindarkan diri dari perbuatan negatif.
6.    Lebih efektif untuk memberikan nasihat, Allah SWT menyebut amtsal untuk pengajaran dan peringatan supaya dapat diambil ibrahnya.
7.    Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya

G.      Perumpamaan – perumpamaan lain
1.    Wahyu dan ilmu diumpamakan dengan air hujan
Allah Azza wa Jalla telah mengumpamakan wahyu dan ilmu yang Allah Azza wa Jalla turunkan kepada para rasul-Nya dengan hujan, sementara hati diumpamakan dengan bumi dan lembah. Pengaruh ilmu dan wahyu pada hati diumpakan dengan pengaruh hujan pada tanah bumi. Diantara tanah itu ada yang subur yang bisa menyerap air dan menumbuhkan rerumputan, sebagaimana hati yang bisa memahami wahyu Allah Azza wa Jalla dan merealisasikannya dalam kehidupan.
Diantara tanah itu juga ada tanah yang bisa menampung air akan tetapi tanaman tidak bisa tumbuhdi atasnya. Orang bisa memanfaatkan air yang ditampung ini untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti minum, mandi, makan dan lain sebagainya. Ini merupakan permisalan bagi hati orang yang bisa menghafal wahyu lalu dia juga menyampaikanya ke orang lain, cuma dia tidak bisa memahaminya secara mendalam. Orang seperti ini masih baik, namun derajatnya berada dibawah derajat hati orang pada golongan pertama.
Kemudian ada juga tanah yang tidak bisa menampung air dan tidak bisa menumbuhkan resumputan. Ini adalah perumpamaan bagi hati yang tidak bisa mengambil manfaat sama sekali dari wahyu, baik secara ilmu, hafalan atau pun praktek.
Sisi persamaan antara antara hati dan tanah atau bumi dalam perumpamaan di atas nampak begitu jelas, begitu juga sisi persamaan antara hujan dan wahyu. Hujan merupakan sumber kehidupan fisik manusia dan sumber rezeki, sebagaimana wahyu dan ilmu merupakan sumber kehidupan ruhani atau hati manusia.
2.      Kalimat tauhid diumpamakan dengan pohon yang baik
Allah Azza wa Jalla juga mengumpamakan kalimat tauhid dengan pohon yang baik yang senantiasa berbuah setiap waktu.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” [Ibrahim/14 : 24-25]
Begitu juga pohon tauhîd yang tertanam dalam hati seseorang. Dia juga akan senantiasa mendatangkan buah atau manfaat. Diantara buah tauhîd yaitu niat yang baik, akhlaq mulia serta amal shalih. Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang bertauhid, tapi juga dirasakan oleh orang lain.
3.      Kaum musyrikin disamakan dengan laba-laba
Allah Azza wa Jalla mengumpamakan syirik dan kaum musyrik yang mencari perlindungan kepada selain Allah Azza wa Jalla seperti laba-laba yang merajut sarangnya. Karena sarang laba-laba adalah sarang yang paling lemah, sehingga tindakannya membuat sarang hanya akan membuatnya semakin lemah.
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” [al-Ankabut/29 : 41]
Begitu juga kaum musyrikin yang mengambil pelindung selain Allah Azza wa Jalla. Tindakan itu hanya akan semakin memperlemah diri mereka sendiri, karena hatinya sudah putus hubungan dengan Allah Azza wa Jalla . Hati seperti ini akan sangat rapuh dari semua sisi, ditambah dengan ketergantungannya kepada makhluk, maka dia akan semakin rapuh. Dia mengira makhluk bisa memberikan manfaat dan menyelamatkannya dari bahaya, padahal sama sekali tidak.
Kondisi jelas sangat berbeda dengan kondisi hati kaum Muslimin yang hanya bergantung kepada Allah Azza wa Jalla. Hatinya tangguh sesuai dengan kekuatan imannya, tauhidnya dan ketergantungannya kepada Allah Azza wa Jalla yang mengatur segala sesuatu. Seperti hati kaum Muslimin yang istiqamah di atas aturan agamanya. Perkataan dan perbuatannya tetap baik, terbebas dari perbudakan makhluk, tidak bergantung dengan mereka sama sekali.
Ini berbeda dengan kaum musyrikin yang diibaratkan dengan orang bisu lagi tuli, yang hanya menjadi beban. Dia tidak bisa mendatangkan kebaikan, meskipun diberi berbagai pengarahan. Hatinya akan sentiasa bergantung dengan makhluk, sehingga secara tidak langsung telah diperbudak dan tidak memiliki kebebasan. Juga diperumpamakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan orang yang terjatuh dari ketinggian lalu disambar burung dan selanjut dicabik-dicabik sampai tidak berbentuk.
“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [al-Hajj/22 : 31]
Seandainya semua yang mereka anggap tuhan itu berkumpul untuk membuat makluk yang paling kecil yaitu lalat mereka tidak akan bisa melakukannya. Lalu bagaimana kalau mereka seorang diri? Jangankan menciptakan lalat, mengembalikan dan merebut kembali makanan yang diambil lalat pun mereka tidak bisa. Adakah kelemahan yang lebih parah dari ini? Adakah kedunguan yang lebih buruk dibandingkan kedunguan kaum musyrikin? Kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya tuhan sesembahan mereka yang menyebabkan mereka tidak mungkin meraih ridha dari semuanya. Orang seperti ini senantiasa dirundung nestapa dan diterpa penderitaan yang bertubi-tubi.
Seandainya kaum musyrikin menyadari sebagian dari keburukan ini, tentu dia akan berupaya menyelamatkan dirinya dari berbagai keburukan itu. Dia juga akan menyadari bahwa selama ini dia telah menyia-nyiakan akal pikiran mereka setelah tidak peduli dengan agama mereka. Ini sangat bertolak belakang dengan kaum Muslimin yang hanya menghambakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Hati mereka tenang di atas agama yang haq. Mereka juga menyadari bahwa buah yang akan didapatkannya jauh lebih baik yaitu kebahagian abadi dalam kehidupan yang juga abadi.

4.      Amal seorang hamba ibarat kebun.
Dalam perumpamaan lain, Allah Azza wa Jalla mengumpamakan amal perbuatan seperti kebun.
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” [al-Baqarah/2 : 265]
Allah Azza wa Jalla menyebutkan suatu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, bersih dari segala yang bisa merusaknya ibarat kebun yang berlokasi ditempat terbaik, cukup angin dan sinar matahari serta tidak kekuarangan pasokan air. Tanah seperti ini meskipun tidak terkena hujan lebat, misalnya hanya gerimis maka itu sudah cukup untuk menjadikannya media tanam yang subur. Kalau unsur-unsur ini sudah terpenuhi, maka tentu buah yang dihasilkannya akan sangat memuaskan, daunnya lebat dan rindang serta udaranya sejuk. Sang pemilik akan senantiasa memetik hasilnya tanpa merasa khawatir. Namun jika mereka ditimpa musibah atau tertimpa kekeringan lalu terbakar.
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” [al-Baqarah/2 : 266]
Maka itu merupakan perumpamaan orang yang melakukan suatu amalan lalu dia melakukan sesuatu yang merusak dan menghancurkan apa yang telah diperbuatnya, seperti kesyirikan, nifâq atau perbuatan maksiat lainnya yang bisa melenyapkan pahala. Alangkah ruginya !
Dari perumpamaan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang tidak memiliki iman sama sekali ibarat orang yang tidak memiliki kebun sama sekali.
Sisi persamaan antara amal dan kebun yaitu kwalitas sebuah lahan sangat dipengaruhi oleh kecukupan air, kesuburan lahan dan kebaikan tempat. Begitu juga dengan amal perbuatan. Amal perbuatan itu sangat dipengaruhi wahyu yang diturunkan sebagai nutrisi hati. Kemudian si pelaku juga sudah melengkapi semua syarat diterimanya amal sehingga membuahkan hasil yang memuaskan.
Dan masih banyak sekali perumpaman yang dibawakan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur'an. Berbagai perumpamaan ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berakal. Ketika perumpamaan-perumpamaan ini diterapkan pada suatu yang diperumpamakan, maka semuanya akan nampak jelas maksudnya.



DAFTAR PUSTAKA


1 komentar:

  1. وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
    dari ayat diatas kalau boleh bertanya memiliki unsur-unsur apasaja

    BalasHapus